Kamis, 25 Juni 2015

Pemimpin Non-Muslim, Bagaimana?

Pemimpin Non-Muslim, Bagaimana?
A.    Hukum asal
Pertama perlu diketahui bahwa pemerintahan yang ideal di negara yang mayoritas muslim adalah apabila dipimpin oleh seorang muslim. Sebagaimana di negara non-muslim dipimpin oleh pemimpin non-muslim. Hal ini berkaitan juga dengan firman Allah agar kita tidak menjadikan seorang kafir sebagai wali (teman, pelindung) seperti dalam QS Ali Imron 3:38; An-Nisa 4:139, 144. Ayat-ayat ini menjadi dalil para ulama atas larangan menjadikan atau mengangkat non-muslim sebagai pemimpin. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sultoniyah,hlm.5,menyatakan
الإمامة موضوعةٌ لِخلافة النُّبوة في حراسة الدِّين وسياسة الدُّنيا، وعقدها لِمن يقوم بها في الأُمَّة واجب
Artinya: Imamah atau kepemimpinan itu diletakkan sebagai ganti kenabian dalam menjaga agama dan politik dunia, mengangkat pemimpin dari individu yang dapat melaksanakan tujuan itu adalah wajib.
 Dalam QS An-Nisai 4:59 Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin pemerintahan - red) di antara kamu." Kata "di antara kamu" berarti dari kalangan muslim. Qadhi Iyadh, sebagaimana dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 6/315, menyatakan yang artinya: Ulama sepakat bahwa imamah (pemimpin negara) yang kafir itu tidak sah. Dan kalau seorang pemimpin muslim murtad jadi kafir maka batal kepeimpinannya begitu juga kalau ia meninggalkan shalat wajib.
B.     Diperbolehkannya pemimpin non muslim
Namun demikian, bukan berarti kalau terjadi ada seorang pemimpin non-muslim dalam negara mayoritas Islam bersistem demokrasi lalu dunia jadi kiamat. Apalagi kalau ia bukan kepala negara, tapi hanya pemimpin yang masuk kategori Al-Wilayah Al-Khassah atau jabatan di bawah jabatan kepala negara di mana ulama berbeda pendapat atas boleh dan tidaknya. Bahkan, mufti Mesir Dr. Ali Jumah menyatakan dalam sistem demokrasi mengangkat pemimpin non-muslim itu sah-sah saja kalau memang itu kehendak mayoritas rakyat karena dalam sistem demokratis semua warga negara berstatus sama dan semua berhak untuk menjadi pegawai dan pejabat; memilih dan dipilih. Juga, sistem demokrasi adalah sistem sekuler di mana pemimpin negara bukanlah pemimpin agama.
Ini berbeda dengan sistem negara Islam di mana kepala negara sekaligus sebagai kepala dalam bidang agama termasuk imam shalat. Fatwa Ali Jumah yang dikeluarkan pada tahun 2011 selengkapnya dapat dilihat (bahasa Arab). Selain itu, kepemimpinan dalam pemerintahan dibagi menjadi dua bagian yaitu Pertama: Al-Wilayah Al-Udzma atau kepemimpinan besar. Wilayah Udzma adalah pemimpin besar Islam yang kepemimpinannya meliputi seluruh dunia seperti Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Istilah ini sering juga disebut dengan Al-Wilayah Al-Ammah (kepemimpinan umum) atau Al-Imamah Al-Kubro atau Al-Khilafah Al-Ammah. Ulama sepakat bahwa jabatan ini harus dipimpin oleh seorang muslim.
Kedua Al-Wilayah Al-Khassah atau kepemimpinan khusus. Istilah ini mencakup kepemimpinan di bawah kepala negara seperti gubernur, bupati, kepala dinas, camat, lurah, kepala desa, dst.  Dalam Al-Wilayah Al-Khassah ini sebagian ulama membolehkan dipimpin oleh wanita dan non-muslim sebagaimana saat ini banyak terjadi di negara kita di mana sejumlah jabatan kepemimpinan mulai dari anggota DPR, DPD, menteri, gubernur sampai lurah diduduki oleh perempuan dan non-muslim. Sedangkan dalam Al-Wilayah Al-Ammah harus di bawah pimpinan laki-laki dan muslim. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Al-Wilayah Ammah apakah bermakna kepala negara yang membawahi seluruh dunia atau kepala negara seperti sekarang yang hanya membawahi bagian kecil dari dunia.
Dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman Negara Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam. Dengan demikian, Negara kita bukan merupakan Negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam.

Di mata Negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang sama, termasuk hak memilih dan hak dipilih. Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28D Ayat 3 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar