Kamis, 25 Juni 2015

Desas-Desus Penerepan Eksekusi Mati Para Bandar Narkoba

Desas-Desus Penerepan Eksekusi Mati Para Bandar Narkoba
Sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa banyak para gembong narkoba yang justru menjalankan kerajaan bisnis haramnya dari balik jeruji besi. Penjara, yang sejatinya digunakan sebagai penimbul efek jera bagi pelanggar hukum malah dimanfaatkan oleh mereka sebagai kantor dinas kerjanya. Ironis memang! Cuma mau bagaimana lagi? Memang begitulah realitas di lapangannya. Para gembong narkoba ini bisa mengelola bisnisnya dengan lancar dan sukses karena mereka bekerja di dalam suatu jaringan sindikat yang amat rapi dan terorganisir secara baik. Jadi, boleh-boleh saja para gembong ini berada dalam penjara yang beda tempat, negara, maupun benua, tapi apa sih yang tidak bisa dilakukan pada era digital ini?
Maka langkah jitu apakah yang bisa dilakukan untuk memberantas tuntas peredaran narkoba yang kian marak di tanah air? Jawabannya mudah: Hukum mati saja para pengedar narkoba yang tertangkap! Sebab dengan menghukum mati para pengedar yang tertangkap berarti telah terjadi pemutusan mata rantai yang sudah terjalin dengan rapi dan sistematis dalam sindikat narkoba tersebut. Dengan demikian, para Bandar narkoba yang belum tertangkap akan kehilangan aksesnya untuk memasarkan barang haramnya. (sumber: lensaindonesia.com)
Ahad, 18 Januari 2015, akan menjadi hari paling diingat oleh negara-negara di dunia,khususnya Brazil dan Belanda. Hal ini karena pada hari itu,  Pemerintah Brazil dan Belanda dikabarkan secara resmi menarik Duta Besar (Dubes) mereka di Jakarta, Indonesia. Penarikan ini dilakukan pasca eksekusi mati warga kedua negara tersebut oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Brazil menyatakan, penarikan Dubes mereka itu untuk melakukan konsultasi, dan menegaskan ekseskusi salah satu warga negara Brazil, Marco Archer Cardoso Moreira akan mempengaruhi hubungan bilateral antara Brazil dan Indonesia. “Penggunaan hukuman mati, yang oleh masyarakat dunia kian dikutuk, berpengaruh besar terhadap hubungan negara kami,” demikian pernyataan presidensial yang diterbitkan kantor berita Brasil.
Hukuman Mati Menurut MUI
Majelis Ulama Indonesia mendukung keputusan pemerintah dalam menghukum mati para bandar narkotika dan obat-obatan berbahaya karena narkoba memiliki dampak negatif yang besar terhadap masyarakat. Ini adalah salah satu fatwa dari MUI. “Mereka harus dihukum yang sangat berat karena dampaknya lebih dahsyat daripada minuman keras,” kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Maruf Amin di Jakarta, Selasa (3/3/2014). MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 53 Tahun 2014 terkait dengan hukuman bagi produsen, bandar, pengedar, dan penyalahguna narkoba. Dalam fatwa itu berisi tentang haramnya narkoba sehingga penghukuman bagi bandar narkoba merupakan salah satu langkah pencegahan barang haram itu beredar dan merusak masa depan bangsa. Dia mengatakan hukuman berat bagi bandar narkoba itu perlu dilakukan untuk memberikan efek jera dan demi kemaslahatan bersama.
“Dari syariat pemberian hukum berat sampai hukuman mati untuk kejahatan itu boleh. Kalau sudah diberi hukuman mati, pemerintah tidak boleh melakukan pengampunan dan keringanan untuk mereka,” kata Maruf. Menurut dia, keputusan Presiden Joko Widodo yang tidak memberi grasi kepada sejumlah bandar narkoba sejalan dengan MUI.  Ia mengharapkan pemerintah juga konsisten dan tegas terhadap terpidana mati. “Keputusan Presiden tidak memberi grasi itu sesuai MUI. Itu penting untuk dilakukan. Dasar-dasarnya sudah ada. Tidak boleh pemerintah memberi pengampunan,” kata dia.
Hukuman Mati Menurut HAM (Direktur Eksekutif: Poengky Indarti)
Direktur Eksekutif lembaga pemantau HAM, Imparsial, Poengky Indarti menyebut, lembaganya konsisten pada sikap menentang hukuman mati, serta terus memperjuangkan penghapusannya. "Hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena tidak menghormati hak untuk hidup. Bahwa tidak seorang pun boleh mencabut nyawa orang lain, negara sekalipun," kata Poengky. Poengky di sisi lain mengingatkan, hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan sistem hukum kolonial Belanda tahun 1918. Dan ini bertentangan selain dengan HAM, melainkan sistem hukum modern. "Sistem hukum modern, penghukuman harus bersikap koreksional, untuk memperbaiki dan bukan untuk balas dendam." Poengky menyerukan agar rencana eksekusi dibatalkan, dan hukuman mati sepenuhnya dihapus atau setidaknya dibekukan. Dan hukuman maksimal yang diberlakukan adalah hukuman seumur hidup, yang tanpa kemungkinan remisi. Langkah eksekusi pada enam terpidana narkoba yang diumumkan khusus oleh pemerintah menurutnya merupakan manuver pemerintah, yang mengada-ada "untuk terlihat keras, gagah, seakan melindungi dan bertanggung jawab kepada rakyat," di tengah sorotan terhadap kontroversi pencalonan Kapolri. Keenam terpidana mengajukan pengampunan atau grasi pada Presiden, namun pada 30 Desember 2014 Presiden Jokowi menandatangani surat penolakan permohonan grasi itu.
Hukuman Mati Menurut Konstitusi NKRI
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan,“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Dari penjelasan UUD tersebut dapat dipahami bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup serta kehidupannya dan menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu untuk tetap hidup hingga Allah Rabbul ‘Alamin menetapkan bagi manusia ketetapan-Nya yaitu waktu kematian orang tersebut.
Hukuman Mati Menurut dunia hukum

Filosofi penghukuman di Indonesia adalah Reintegrasi Sosial. Kejahatan pada hakekatnya adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya, sehingga bentuk hukuman yang tepat untuk setiap kejahatan adalah reintegrasi. Di dalam perkembangan penologi (ilmu penghukuman) dikenal setidaknya lima mazhab atau filosofi penghukuman. Pertama, retributif; mashab yang menekankan penghukuman adalah sebuah pembalasan dendam yang setimpal dengan atas kejahatan. Kedua, deterrence (penjeraan); penghukuman adalah untuk membuat jera pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan. Ketiga, rehabilitasi; kejahatan pada hakekatnya adalah sakit yang diderita seseorang secara fisik, psikis, maupun sosial. Penghukuman ditujukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Keempat, resosialisasi; kejahatan adalah ketidaktahuan terhadap nilai dan norma yang baru, jadi penghukuman ini adalah bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai yang baru. Kelima, reintegrasi sosial. Penghukuman ditujukan untuk menanamkan kembali nilai dan norma agar pelaku kejahatan. Hukuman mati adalah bentuk hukuman dengan mashab retributif dan deterrence (penjeraan). Kedua mashab ini di dalam mencapai tujuannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk hukuman yang keras, pedih, dan (sebagian literatur menyebutnya) tidak manusiawi. Kedua mashab yang dianggap mashab klasik ini dipraktekkan secara luas di abad pertengahan eropa, dalam bentuk pancung, mutilasi, gantung, cambuk, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar