Desas-Desus
Penerepan Eksekusi Mati Para Bandar Narkoba
Sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa banyak
para gembong narkoba yang justru menjalankan kerajaan bisnis haramnya dari
balik jeruji besi. Penjara, yang sejatinya digunakan sebagai penimbul
efek jera bagi pelanggar hukum malah dimanfaatkan oleh mereka sebagai kantor
dinas kerjanya. Ironis memang! Cuma mau bagaimana lagi? Memang begitulah
realitas di lapangannya. Para gembong narkoba ini bisa mengelola bisnisnya
dengan lancar dan sukses karena mereka bekerja di dalam suatu jaringan sindikat
yang amat rapi dan terorganisir secara baik. Jadi, boleh-boleh saja para
gembong ini berada dalam penjara yang beda tempat, negara, maupun benua, tapi
apa sih yang tidak bisa dilakukan pada era digital ini?
Maka langkah jitu apakah yang bisa dilakukan untuk memberantas tuntas
peredaran narkoba yang kian marak di tanah air? Jawabannya mudah: Hukum mati
saja para pengedar narkoba yang tertangkap! Sebab dengan menghukum mati
para pengedar yang tertangkap berarti telah terjadi pemutusan mata rantai yang
sudah terjalin dengan rapi dan sistematis dalam sindikat narkoba tersebut.
Dengan demikian, para Bandar narkoba yang belum tertangkap akan kehilangan aksesnya
untuk memasarkan barang haramnya. (sumber: lensaindonesia.com)
Ahad, 18 Januari 2015, akan menjadi hari paling diingat oleh
negara-negara di dunia,khususnya Brazil dan Belanda. Hal ini karena pada hari
itu, Pemerintah Brazil dan Belanda dikabarkan secara
resmi menarik Duta Besar (Dubes) mereka di Jakarta, Indonesia. Penarikan
ini dilakukan pasca eksekusi mati warga kedua negara tersebut oleh
Pemerintah Indonesia. Pemerintah Brazil menyatakan, penarikan Dubes mereka itu
untuk melakukan konsultasi, dan menegaskan ekseskusi salah satu warga negara
Brazil, Marco Archer Cardoso Moreira akan mempengaruhi hubungan bilateral
antara Brazil dan Indonesia. “Penggunaan hukuman mati, yang oleh masyarakat
dunia kian dikutuk, berpengaruh besar terhadap hubungan negara kami,” demikian
pernyataan presidensial yang diterbitkan kantor berita Brasil.
Hukuman
Mati Menurut MUI
Majelis Ulama Indonesia mendukung keputusan
pemerintah dalam menghukum mati para bandar narkotika dan obat-obatan berbahaya
karena narkoba memiliki dampak negatif yang besar terhadap masyarakat. Ini
adalah salah satu fatwa dari MUI. “Mereka harus dihukum yang sangat berat
karena dampaknya lebih dahsyat daripada minuman keras,” kata Wakil Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia KH Maruf Amin di Jakarta, Selasa (3/3/2014). MUI telah
mengeluarkan Fatwa Nomor 53 Tahun 2014 terkait dengan hukuman bagi produsen,
bandar, pengedar, dan penyalahguna narkoba. Dalam fatwa itu berisi tentang
haramnya narkoba sehingga penghukuman bagi bandar narkoba merupakan salah satu
langkah pencegahan barang haram itu beredar dan merusak masa depan bangsa. Dia
mengatakan hukuman berat bagi bandar narkoba itu perlu dilakukan untuk
memberikan efek jera dan demi kemaslahatan bersama.
“Dari syariat pemberian hukum berat sampai
hukuman mati untuk kejahatan itu boleh. Kalau sudah diberi hukuman mati,
pemerintah tidak boleh melakukan pengampunan dan keringanan untuk mereka,” kata
Maruf. Menurut dia, keputusan Presiden Joko Widodo yang tidak memberi grasi
kepada sejumlah bandar narkoba sejalan dengan MUI. Ia mengharapkan pemerintah juga konsisten dan
tegas terhadap terpidana mati. “Keputusan Presiden tidak memberi grasi itu
sesuai MUI. Itu penting untuk dilakukan. Dasar-dasarnya sudah ada. Tidak boleh
pemerintah memberi pengampunan,” kata dia.
Hukuman
Mati Menurut HAM
(Direktur Eksekutif: Poengky Indarti)
Direktur Eksekutif lembaga pemantau HAM,
Imparsial, Poengky Indarti menyebut, lembaganya konsisten pada sikap menentang
hukuman mati, serta terus memperjuangkan penghapusannya. "Hukuman mati
merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena tidak menghormati
hak untuk hidup. Bahwa tidak seorang pun boleh mencabut nyawa orang lain,
negara sekalipun," kata Poengky. Poengky di sisi lain mengingatkan,
hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan sistem hukum kolonial Belanda
tahun 1918. Dan ini bertentangan selain dengan HAM, melainkan sistem hukum
modern. "Sistem hukum modern, penghukuman harus bersikap koreksional,
untuk memperbaiki dan bukan untuk balas dendam." Poengky menyerukan agar
rencana eksekusi dibatalkan, dan hukuman mati sepenuhnya dihapus atau
setidaknya dibekukan. Dan hukuman maksimal yang diberlakukan adalah hukuman
seumur hidup, yang tanpa kemungkinan remisi. Langkah eksekusi pada enam
terpidana narkoba yang diumumkan khusus oleh pemerintah menurutnya merupakan
manuver pemerintah, yang mengada-ada "untuk terlihat keras, gagah, seakan
melindungi dan bertanggung jawab kepada rakyat," di tengah sorotan
terhadap kontroversi pencalonan Kapolri. Keenam terpidana mengajukan
pengampunan atau grasi pada Presiden, namun pada 30 Desember 2014 Presiden
Jokowi menandatangani surat penolakan permohonan grasi itu.
Hukuman
Mati Menurut Konstitusi NKRI
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas
menyebutkan,“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.” Dari penjelasan UUD tersebut dapat dipahami bahwa setiap orang berhak
untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup serta kehidupannya dan menyatakan
bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu untuk tetap
hidup hingga Allah Rabbul ‘Alamin menetapkan bagi manusia ketetapan-Nya yaitu
waktu kematian orang tersebut.
Hukuman
Mati Menurut dunia hukum
Filosofi penghukuman di Indonesia adalah
Reintegrasi Sosial. Kejahatan pada hakekatnya adalah konflik yang terjadi
antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya, sehingga bentuk hukuman yang
tepat untuk setiap kejahatan adalah reintegrasi. Di dalam perkembangan penologi
(ilmu penghukuman) dikenal setidaknya lima mazhab atau filosofi penghukuman.
Pertama, retributif; mashab yang menekankan penghukuman adalah sebuah
pembalasan dendam yang setimpal dengan atas kejahatan. Kedua, deterrence
(penjeraan); penghukuman adalah untuk membuat jera pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat yang berpotensi melakukan kejahatan. Ketiga, rehabilitasi; kejahatan
pada hakekatnya adalah sakit yang diderita seseorang secara fisik, psikis,
maupun sosial. Penghukuman ditujukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
Keempat, resosialisasi; kejahatan adalah ketidaktahuan terhadap nilai dan
norma yang baru, jadi penghukuman ini adalah bertujuan untuk menanamkan
nilai-nilai yang baru. Kelima, reintegrasi sosial. Penghukuman ditujukan
untuk menanamkan kembali nilai dan norma agar pelaku kejahatan. Hukuman mati
adalah bentuk hukuman dengan mashab retributif dan deterrence (penjeraan).
Kedua mashab ini di dalam mencapai tujuannya lebih mengedepankan bentuk-bentuk
hukuman yang keras, pedih, dan (sebagian literatur menyebutnya) tidak
manusiawi. Kedua mashab yang dianggap mashab klasik ini dipraktekkan secara
luas di abad pertengahan eropa, dalam bentuk pancung, mutilasi, gantung,
cambuk, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar