Kamis, 03 September 2015

GAMBARAN DETAIL ORGANISASI KEAGAMAAN DI DESA JAMBESARI TUGAS


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pembimbing: Dr. Imam B. Jauhari, M.Si


Oleh:
Safaruddin Ridwan                (084131309)




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JULI 2015

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt  atas berkat, rahmat, taufik serta hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa kabar gembira bagi umat islam yang bertaqwa.
       Tulisan  ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama. Dalam penulisan Tugas ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada:
1.    Bapak Imam B. Jauhari  selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Pendidikan, yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam penyusunan makalah ini.
2.    Kedua Orang tua yang telah memberikan dukungan untuk terselesaikannya makalah ini.
3.    Semua pihak yang turut membantu terselesaikannya makalah ini.
       Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya pembaca, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan ilmu pendidikan.


Di sini saya akan menggambarkan secara detail mengenai organisasi keagamaan yang berada di Desa Jambesari Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember. Organisasi Islam di sini merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari. Mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan. Dari aspek kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi ke-Islaman, baik bergerak dalam bidang politik maupun yang bergerak dalam bidang sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti cikal bakal terbentuknya Sarekat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama’). Dengan adanya hal tersebut merupakan pembangkit semangat bangsa.
Jika melihat perkembangan organisasi ke-Islaman di desa Jambesari, mayoritas penduduknya seratus persen adalah seorang Muslim. Dan dari segi organisasi keagamaan masyarakatnya kebanyakan mengikuti organisasi atau berazaskan NU (Nahdlatul Ulama’). Meskipun demikian kebanyakan dari mereka tidak memahami secara mendetail apa yang dinamakan organisasi NU atau nilai-nilai yang terkandung di dalam organisasi ke-Islaman tersebut. Hal ini dikarenakan di desa Jambesari tidak ada yang namanya kepengurusan Nahdlatul Ulama’ dalam ruang lingkup desa maupun oknum-oknum masyarakat yang berkecimpung dalam kepengurusan NU.
 Masyarakat disana kebanyakan hanya mengikuti atau memilih teladan sebagai panutan seperti pemimpin-pemimpin pondok pesantren besar yang berazaskan NU (Nahdlatul Ulama’) dan menjadikan masyarakat disana hanya memahami organisasi ke-Islaman (dalam hal ini NU) secara umum saja tanpa mengetahui secara mendetail. Misalnya, KH.Mutawakkil Alallah (pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong sekaligus pengurus PWNU Jawa Timur) yang berada di Kraksaan Probolinggo dan KH.Nawawi (selaku pimpinan Pondok Pesantren Sidogiri) yang berada di Pasuruan. Kedua pimpinan tersebut merupakan tokoh NU.
Dengan hal itu, masyarakat desa Jambesari sedikit banyak memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai yang dalam sebuah organisasi keagamaan (NU). Dapat dikatakan hanya organisasi NU saja yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat disana. Tidak ada organisasi-organisasi yang lain masuk dan berpengaruh signifikan terhadap kehipun masyarakat disana. Mungkin hal tersebut terjadi karena masyarakat disana tetap mempertahankan nilai-nilai historis dan nilai-nilai kebudayaan yang sangat kental dan menjadi ciri khas masyarakat disana. Seperti adanya Slametan, tingkepan, tahlil dan lain sebagainya.
Hal ini berbanding lurus dengan nilai-nilai yang terkandung dalam organisasi Nahdlatul Ulama’ yang merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang mempertahankan nilai-nilai tradisionalis nusantara. Sehingga hal ini menyebabkan masyarakat disana beranggapan bahwa nilai-nilai organisasi NU sangat cocok dengan masyarakat.
Sebegitu kentalnya organisasi NU di masyarakat Jambesari sehingga jarang sekali organisasi-organisasi keagamaan yang lain mampu bersanding dan mampu mengikat hati dari masyarakat sekitar.seperti halnya Muhammadiyah dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya yang lebih bersifat modernis.
Biasanya dalam keseharian masyarakat di desa Jambesari ini hampir secara keseluruhan sama dengan keseharian masyarakat di desa-desa lainnya. Kalau berbicara tentang organisasi keagamaan, kegiatan keagamaan disana jarang sekali yang mengatasnamakan organisasi. Kegiatan keagamaan berjalan dengan sendirinya tanpa mengatasnamakan atau yang berbau organisasi. Kegiatan kegiatan yang sering di laksanakan adalah acara rutinan. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan setiap seminggu sekali tau dalam setiap satu bulan sekali. Sebagai contoh, kegiatan rutinan “Muslimatan” yang dilaksanakan dalam satu minggu sekali,  tepatnya pada hari kamis. Kegiatan keagamaan ini dipimpin langsung oleh bapak Kusnanto dan bapak Abdul Hari. Kegiatan keagamaan yang dilaksankan di dalamnya meliputi Sholawatan, tahli dan kegiatan tausiyah yang di isi langsung oleh para bapak yang sudah saya sebutkan tadi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: pertama, mengingat jasa-jasa Rosulullah SAW dan menambah kecintaan kepadanya dengan cara kegiatan bersholawat nabi. Kedua, senantiasa mengingat mati dan mendoakan para kelurga yang telah kembali naungan Ilahi Robbi dengan cara kegiatan Tahlil. Ketiga, senantiasa meningkatkan taqwa dan iman kepada Allah SWT dengan cara tausiyah yang disampaikan oleh pimpina jama’ah.
Contoh dari kegiatan keagamaan lainnya adalah Jam’iyyah Sholawat dan Jam’iyyah Asatidz. Jam’iyyah Sholawat di pimpin oleh ustadz Syamsuddin. Kegiatan yang dilaksanakan oleh jamaah ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan setiapa seminggu sekali, tepatnya hari senin. Kegiatannya sesuai demhan namanya yaitu kegiatan bersholawat nabi. Tujuannya adalah untuk mempererat tali silaturrahmi setiap anggota jamaah dan juga meningkatkan taqwa kepada Allah SWT serta meningkatkan kecintaan kepada Rosulullah melalui bersholawat nabi.
Sedangkan untuk Jam’iyyah Asatidz, yang di pimpin oleh Habib Ali al-Habsy, kegiatannya meliputi kegiatan Manakiban, Tahlil dan sholawat nabi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas ibadah dan menambah iman dan Taqwa kepada Allah dan bersholawat nabi untuk meningkatkan kecintaan kepada Rosululah SAW beserta sunnahnya serta mendoakan ahli kubur  melalui tahlil.

Dengan hal itu semua, diharapkan warga masyarakat mempererat silaturrahmi untuk meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat sekitar dan tentang pentingnya penting kehiduoan bersosial.
ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah  FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pembimbing: Zainal Anshari


Disusun Oleh:
Muhammad Usman                 (084131310)
Lutfan Bahsyirudin                  (084131289)


INSTITUSI AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
FAKULTAS TARBIYAH dan ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016



KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas daripada mata kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM” yang di ampu oleh Bpk. Zainal Anshari.
Biacara masalah pendidikan Islam sangat bmenarik dan akan selalu menghasilkan pemikiran baru, pemikiran baru selalu ada karena merupakan kebutuhan dalam rangka memecahkan berbagai problem yang dialami Pendidikan Islam. Makalah ini dapat digunakan untuk menambah refrensi dan dapat digunakan untuk mempermudah dalam belajar materi “Aspek-Aspek pendidikan islam”. Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar pembaca dapat dengan mudah mempelajari dan memaham tentang meteri “Aspek-Aspek pendidikan islam” secara lebih lanjut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih diperlukan penyempurnaan. Oleh sebab itu, guna penyempurnaaan makalah ini, kritik dan saran yang kondusif selalu kami harapkan.





Jember, Maret 2015




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ....................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1.             Latar belakang..
1.2.            Rumusan masalah..
1.3.            Tujuan penulisan..
BAB II PEMBAHASAN
2.1.            Si terdidik Pendidik dan peranan masing-masing..
2.2.            Dasar dan tujuan Pendidikan..
2.3.            Alat-alat dan badan pendidikan ..
 BAB III PENUTUP
3.1.            Kesimpulan..
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang


1.2.Rumusan masalah
a.        Apa saja peranan si terdidik dan pendidik?
b.      Bagaimana dasar dan tujuan pendidikan?
c.       Apa saja alat-alat dan badan pendidikan?
1.3.Tujuan penulisan
a.       Untuk mengetahui pesertadidik dan pendidik.
b.      Supaya paham tujuan pendidikan.
c.       Agar kita tahu alat dan badan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Si Terdidik Pendidik Dan Peranan Masing-Masing

A.    Si terdidik
pendidik ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik pada si terdidik dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewaqsaan dan seterusnya kearah terbentuknya kepribadian muslim.

Sebelum kita membahas lebih mendalam, perlu kita mengulangi pula bahwa didalam dunia pendidikan terdapat istilah:
1)      Pendidikan dalam arti sempit; dan
2)      Pendidikan dalam arti luas
Yang dimaksu pendidikan dalam arti sempit ialah bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa. Pendidikan dalam arti luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya; bagi pendidikan Islam , sampai terbentuknya kepribadian Muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya seperti sabda Nabi SAW;
tuntutlah Ilmu dari buaian sampai ke liang lahad”
Sebenernya kedua jenis pendidikan ini (arti sempit atau arti luas) satu adanya. Bagi pendidikan umum terutama yang diberikan tidak dalam rangka pendidikan keagamaan, pendidikan dibatasi pada jenis yang sempit. Ini bukan berarti bahwa setelah mencapai kedewasaan pendidikan tidak ada lagi. Pembatasan ini di maksudkan ialah bahwa sebagai pertolongan terhadap anak, pendidikan (dari orang lain) talah selesai bila anak telah mencapai kedewasaan (rohaniah).  Kalaupun terjadi pendidikan seterusnya, itu adalah pendidikan sendiri, dengan kata lain tidak berat pertanggung jawaban terletak pada si terdidik sendiri. Jadi pendidikan umum telah merasa puas jika anak-anak didik telah mencapai kedewasaan. Pendidikan selanjutnya adalah tanggung jawab si terdidik sendiri dengan kata lain, pendidikan selanjutrnya adalah pendidikan sendiri.
Bagi pendidikan Islam berlakukah pendidkan dalam arti luas. Bukan berarti pendidikan Islam adalah lanjutan dari pendidikan umum. Bukan pula berarti, biarlah anak mencapai kedewasaan terlebih dahulu dengan pendidikan umum, barulah sesudahnya ditambah dengan pendidikan Islam. Tidak demikian halnya. Pendidikan Islam telah dimulai sejak bayi dilahirkan, bukan pendidikan umum yang “cat” Islam. Bukan pula pendidikan umum yang diberi “ekor” dengan pendidikan Islam, melainkan adalah pendidikan Islam dalam keseluruhannya. Sampai di sini jelas kiranya, bahwa yang menduduki tempat sebagi pendidik dalam pendidikan Islam (pendidikan dalam arti yang lua) meliputi orang orang yang belum dewasa. Dengan kata lain seseorang itu selama hidupnya selalu mempunya keduduka si terdidik.
Dalam proses pendidikan kedudukan sebagi si terdidik, bukanlah sesuatu yang tidak penting, seseorang yang masih belum dewasa, misalnya, mengandunng banyak sekali kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani  yang belum mencapi taraf kematanngan baik bentuk, ukuran maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah si anak masih harus dikembangkan, mempunnyai kehendak. Di samping itu ia mempunyai banyak kebutuhan: antara lain kebutuhan memelihara jassmaniah, makanan, minuman , dan pakaian; kebutuhan akan kesempatan berkembang, bermain-main, berolah raga dan sebagainya.
B.     Pandangan-pandangan Pendidik
Dalam hal menaksir peranan si terdidik banyak terdapat pandangan-pandangan, malah ada yang sangat ekstrim. Ada golongan pendidik yang terlalu terlalu menaksir rendah peranan anak dan ada pula yang menaksir terlalu tinggi. Mereka yang menaksir rendah menganggap bahwa si anak sama sekali tergantung “nasib”-nya kepada si pendidik. Mereka selalu menonjolkan diri sebagai pihak “penolong” atas segala-galanya terhadap anak.
Hal ini dapat timbul sebagi akibat dari kasih sayang yang salah temapat atau salah pemakaiannya, atau akibat pandangan yang salah terhadap kemungkinan-kemungkinan kepribadian si terdidik
Kasih sayang yang salah ditempatkan dan salah digunakan akan mengakibatkan anak terus-menerus bergantung kepada pendidik. Kesalahan menaksir terlalu rendah dapat pula mengakibatkan sikap otoriter dari si pendidik. Segalanya harus tunduk kepada perintahnya.
Dalam hal ini pun si anak tidak diberikan kesempatan mencoba sendiri kesanggupannya. Akibatnya bagi sianak ialah timbulnya kurang rasa percaya pada kesanggupan sendiri dan rasa takut yang bukan-bukan kepada pendidik.menjadikan si anak seorang yang dapatnya hanya meng “ya” saja (yes men)
Mereka yang menaksir terlalu tinggi sebaliknya pula. Mereka merasa tidak  perlu ikit campur dalam urusan pendidikan si anak. Segalanya akan dapat dibereskan sendiri. Kelompok pendidik yang berpendirian demikian disebut beraliran Natavistis (Native = asli = asal) atau naturalistis.
Kedua jenis pandangan ini masing-masing mengandung akibat-akibat yang jauh, akibat-akibat yang merugikan. Pendidik golongan kedua tidak mungkin menjadikan anak dewasa karena dengan sendirinya anak tidak secara mendadak dapat memilih sendiri apa yang baik baginya untuk perkembangannya. Si anak tidak akan sampai kepada nilai-nilai yang pada mulanya secara sederhana harus “diajar”-kan oleh orang-orang dewasa (pendidik) kepadanya. Pembentukan pribadi kepada anak terjadi secara berangsur-angsur.
Untuk dapat memilih sendiri mana yang baik dan mana yang jahat, ia mula-mula harus dapat pelajaran mengenai itu. Mula-mula secara identifikasi (penyamanan diri) dengan orang tuanya atau pendidiknya.
Hal-hal ini perlu menjadi peringatan bagi para pendidik. Kita jang membebaskan saja anak-anak sedemikian rupa sebaliknya jangan pula otokratis. Untuk itu perlu kita mengenal apa yang dibutuhkan oleh anak didik kita sesuai dengan usia dan taraf-taraf perkembangan anaknya.

C.     Pendidikan Dan Tugasnya
Pendidikan, ialah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik. Pada umumnya jika kita mendengar istilah pendidik akan terbayang didepan kita seorang manusia dewasa. Dan sesungguhnya yang kita maksudkan pendidik dalam buku ini adalah hanya manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik.
Kalau kita hanya berpegang pada istilah membimbinng atau menolong seperti disebutkan dalam definisi pendidikan, maka orang dapat berkata bahwa seorang anakpun dapat menjadi pendidik karena ia dapat menolong anak-anak lainnya. Namun demikian kita harus mengingat pula bahwa pendidikan itu bukan hanya menolong, tetapi menolong dengan sadar, dengan maksud menuju tujuan  pendidikan.
Kalu seorang anak menolong anank  lainnya tidaklah ada intense (maksud) pada sipenolong untuk menghubungkan tindakannya itu dengan tujuan pendidikan. Sampai disinni saja gugurlah julukan pendidik pana anak penolong tadi.
Kalau ditinjau dari segi pertanggung jawaban, maka orang dewasa yang mendidik memikul pertanggung jawab terhadap (mengenai) anak didiknya; sedangkan si penolong kecil itu tidaklah demikian. Jelas kiranya bahwa sipenolong kecil itu belum dapat disebut pendidik.
Tugas pendidik antara lain yaitu: membimbing si terdidik, serta mencari pengenalan terhadap si terdidik, terhadap kebutuhan dan kesanggupannya. Salah satu tugas lainnya yang sangat penting ialah menciptakan situasi unntuk pendidikan.
Yang dimaksud situasi pendidikan ialah suatu keadaan dimana tinndakan-tindakan pendidikan dapat berlangsunng dengan baik dengan hasil yang memuaskan.
Contoh: hayatilah situasi disalam masjid.
Disana seluruh keadaan mempengaruhi manusia, membawa ketenangan, menciptakan rasa kekecilan di depan Tuhan, rasa menyerah sepenuh penuhnya kepada-Nya petunjuk-petunjuk, anjuran-anjuran khotbah yang diucapkan oleh khotib.
Tentu saja tidak disemua tempat bias diciptakan suasana sedemikian, seagung, sekhidmad itu. Tetapi sesuai dengan maksud tiap-tiap pendidikan. Carilah tempat dan ciptakan situasi yang sesuai. Tugas lain ialah pendidik harus memiliki pengetahuan pengetahuan yang diperlukan, pengethuan-pengettahuan keagamaan adalah terutama disamping pengetahuan lainnya.
Pengetahuan ini jarang haya sekedar diketahui tetapi juga diamalkan dan diyakini sendiri. Ingatlah bahwa kedudukan pendidikan adalah pihak yang lebih dalam situasi pendidikan. Harus diingat pula bahwa pendidik juga adalah manusia dengan sifat-sifatnya yang tidak sempurna. Oleh karena itu, maka menjadi tugas pula bagi si pendidik untuk selalu meninjau diri sendiri. Dari reaksi si anak, dari hasil-hasil usaha pendidikan, pendidik dapat memperoleh bahan-bahan tentang keadaan dirinya sendiri. Jangan malu mendapat kecaman dari pihak si terdidik, kecaman yang membangun besar sekali nilainya.
Memang tugas seorang pendidik tidaklah mudah. Bahwa para pendidik memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, tidak dapat disangkal lagi. Terutama pada saat-saat permulaan dalam proses pendidikan dan dalam permulaan taraf pendidikan (ketika si terdidik masih kanak-kanak) titik berat bijaksanaan, titik berat tanggung jawab terrletak dalam tangan siterrdidik.
Para pendidik dapat memilih kemana arah pendidikan, dassr-dassar apa yang dipakainya, alat-alat apa yang dipergunakannya serta bagaimana ia memakai alat itu. Disamping itu mereka merupakan conntoh yang hidup bagi si terdidik dan tempat si terdidik beridentifikasi (menyamakan diri).
Peranan mereka tidak kurang pentingnya dalam taraf-taraf pendidikan selanjutnya; ketika si terdidik sudah lebih maju lagi mendekati tujuan pendidikan. Oleh karena itu maka besarlah sungguh tanggung jawab moral seorang pendidik.
Firman Allah:
“hendaklah ada diantara kamu suatu golongan yang menyeru manusia kepada kebaikan dan melarangnya dari kejahatan; penyeru ini adalah orang yang mendapat kemenangan”

2.2. Dasar Dan Tujuan Pendidikan Islam

A.    Dasar-dasar Pendidikan
Dasar dan fundamen dari suatu bangunan addalah bagian dari pembangunan yang menjadi sumber kekuatan dan ketteguhan tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon dasar itu adalah akarnya. Fungsinya sama dengan fundamen tadi, mengeratkan berdirinya pohon itu.
Demikian pula fungsi dasar dari pendidikan Islam.  Fungsinya ialah  menjamin sehingga “bangunan” pendidikan itu teguh berdirinya. Agar usaha-usaha yang terlingkup di dalam pendidikan mempunyai sumberketeguhan, suatu sumber keyakinan: agar jalan menuju tujuan dapat tegas terlihat, tidak mudah tersimpang oleh pengaruh-pengaruh luar.
Singkat dan tegas ialah firman Tuhan dan sabda Rasulullah saw. Kalau pendidikan ibaratkan bangunan maka isi Al-Qur’an dan Haditslah yang menjadi fundamennya. Dengan dua dasar yang sesungguhnya hanya satu ini, maka keteguhan berdirinya pendidikan Islam tidak dapt digoyangkan oleh apapun. Al-Qur’an mencangkup segala masalah baik yang mengenai ke peribadatan maupun mengenai kemasyarakatan. Kegiatan berupa pendidikan ini banyak sekali mendapat tuntunan dalam Al-Qur’an.
Dalam bab prtama telah dinyatakan bahwa ada usaha-usaha pendidikan yang hanya didasarka pada kasih sayang  dan intuisi sipendidik, dan ada pula (sebaiknya) di dasarkan pada teori pendidikan dan filsafat pendidikan.
Bagi pendidikan Islam, kedua jenis pendidikan ini, harus mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Bagi usaha pendidikan jenis peertama pemkaian Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar, dapat dilaksanakan sewaktu-waktu melihat kembali Al-Qur’an dan Hadits, bila pendidik merasa ragu-ragu terhadap tindakannya.
Bagi usaha pendidikan jenis kedua (yang berdasarkan teori-teori pendidikan dan filsafat pendidikan), pemakaian Al-Qur’an dan Hadist sebagai dasar di laksanakan dengan jalan menyusun suatu filsafat pendidikan Islam secara lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan memilih pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan Hadits. Yang langsung member i petunjuk tentang pendidikan, sebagai sumber-sumbeer penelaahan atau perenungan. Dan dasar filsafat pendidikan Islam ini, disusunlah suatu teori pendidikan Islam yang lengkap dan dapat dipertanggun jawabkan pula. Selanjutnya berdasarkan teori inilah usaha pendidikan Islam dilaksanakan.
Soal lebih mudah dan lebih sukar yang diperbincangkan diatas, hanya menyinggung soal-soal teknis pelaksanaan pendidikan, lepas dari soal mana yang paling banyak dimiliki oleh para pendidik, juga lepas dari soal menghitung-hitung mana yang paling banyak  nanti mendapat pahala. Terutama factor terakir ini tidak boleh diperbincangkan menyangkut persoalan ini, karena soal pahala itu penentuan Yang Maha Kuasa. Kalau kita meninggalakan persoalan mana yang lebih mudah, cara mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, pendidikan tanpa teori atau dengan berdasarkan teori dan filasafat pendidikan dan mencari satu pegangan yang lebih abstrak dan sukar diukur maka dapatlah dirumuskan sebagai berikut: “pendidikan Islam harus di dasarkan kepada mentauhidkan Allah, kepercayaan kepada Allah” setiap usaha pendidikan harus di dasarka pada pengakuan Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhuu Wa Rasuuluhu. Para pendidik cukup berpedoman dengan keyakinan “karena Allah semata-mata” si terdidikpun demikian pula. Inilah pegangan yang lebih mudah di tuliskan tetapi lebih abstrak dan sukar diukur, serta membutuhkan kecakapan intuitif yang besar dalam penglahirannya sebagai usaha-usaha pendidikan.
Oleh karena itu, maka bagi usaha pendidikan Islam, perlu adanya suatu filsafat pendidikan Islam yang didasarkan pada hokum Islam (Al-Qur’an dan Hadits), berdasarkan filsafat mana nanti disusun suatu teori pendidikan yang selanjutnya menuntun usaha pendidikan Islam tersebut. Adalah salah satu tugas para ahli pendidikan Islam dan para Alim Ulama untuk menyusun suatu filsafat pendidikan yang cukup lengkap dan bias di pertanggung jawabkan.

B.     Tujuan Pendidikan
Fungsi Dan Jenis Tujuan Pendidikan
Suatu usaha yang tidak mempunyaintujuan tidaklah berarti apa-apa. Oleh karena itu sukarlah kita mendapat contoh contoh usaha yang tidak bertujuan. Dapat kita katakana bahwa tidak ada suatu usaha yang tidak brtujuan. Tujuan telah terlingkup didalam pengertian usaha.
Usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena suatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi usaha itu belum dapat disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah di capai. Dengan ini, sampailah kita kepada fungsi  tujuan yang pertama, yaitu mengakhiri usaha itu.
Tanpa adanya antisipad (pandangan ke depan) kepada tujuan. Penyelewengan akan banyak terjadi, demikian pula kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, fungsi kedua dari tujuan ialah mengarahkan usaha itu.  Fungsi ketiga ialah, suatu tujuan dapat pula merupakan titik pangkan untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama.
Dapat dikatakan bahwa dalam satu segi tujuan itu membatasi ruang gerak usaha, dalam segi lainnya mempengaruhi dinamik dari usaha itu. Perbedaan antara usha-usaha yang berjenis-jenis jika di tinjau dari segi tujuannya tidak lah terletak pada soal ada atau tidak adanya tujuan, melainkan pada soal gradasi (tingkatan) menurut nilai tujuan dan gradasi menurut tempo (waktu) untuk mencapai tujuan.
Fungsi ke empat dari tujuan ialah member nilai (sifat) pada usaha-usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebuh mulia dari usaha-usaha lainnya. Tentu  saja berdassarkan system nilai nilai tertentu. Ada usaha yang tujuan hya lebih jelas dari usha-usaha yang lain. Ada p[ula usaha yang bertujuan banyak. Sekali merengkuh dayug dua tiga pulau terlampaui. Tujuan-tujuan itu, dapat parallel dan dapat pula dalam urutan  satu garis lurus (liniar). Dalam hal ini, terdapatlah tujuan yang dekat, lebih jauh, jauh dan terjauh atau dengan istilah lain terdapat beberapa tujuan sementara (tujuan antara) dan tujuan akhir. Fungsi tujuan akhir  ialah memeli hara arah usaha itu dan mengakhirinya setelah tujuan itu tercapai. Fungsi tujuan sementara, ialah membantu arah usaha dan menjadi titik berpijak untuk mencapai tujuan-tujuan lebih lanjut dan tujuan akhir. Pendidikan Islam, adalah usaha yang bertujuan banyak dalam usaha satu garis. Sebelum mencapai tujuan akhir, pendidikan Islam lebih dahulu mencapai beberapa tujuan sementara.
Dalam batasan mengenai pendidikan, telah disebutkan bahwa tujuan terakhir ialah terrbentuknya kepribadian muslim. Sebelum kepribadian muslim terbentuk, pendidikan Islam akan mencapai dahulu beberapa tujuan sementara, antara lain kecakapan jasmani,  pengetahuan membaca menulis, pengetahuan dan ilmu-ilmmu kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan, kedewassaan jasmaniah rohaniah dan seterusnya.

TUJUAN AKHIR PENDIDIKAN ISLAM

Ketentuan-ketentuan mengenai apa yang disebut kepribadian Muslim, adalah lebih abstrak lagi daripada kedewasaan rohaniah. Lebih sulit pulalah untuk menentukan bila masanya dan siapa-siapa yang telah mencapai keadaan itu. Sesungguhnya penentuan mengenai hal itu bukanl;ah wewenang manusia. Tuhanlah yang menentukan siapa-siap diantara hamba-Nya yang betul-betul telah mencapai kesempurnaan itu. Pendidikan dapat di usahakan oleh manusia tetapi penilaian tertinggi mengenai hasilnya adalah Allah yang Maha Mengetahui.

2.3. ALAT-ALAT DAN BADAN-BADAN PENDIDIKAN

A.    Alat-alat Pendidikan
Jenis alat menurut fungsinya
Yang disebut alat, segala sesuatu atau apa yang di pergunakan dalam usaha mencapai tujuan. Pendidikanpun sebagai usaha, juga merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Segala perlengkapan yang dipakai dalam usaha pendidikan disebut alat pendidikan. Inilah fungsi pertama alat pendidikan, yaitu sebagai perlengkapan. Kalau ditinjau dari pandangan yang lebih dinamis, maka alat itu disamping sebagai alat perlengkapan, juga merupakan alat pembantu mempermudah terlaksanyanya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, dalam usaha pendidikan, perlu kita meninjau tiap-tiap perlengkapan sebaik-baiknya, jangan sampai alat itu sendiri menghambat/memperlambat tercapainya tujuan.

Tujuan sementara adalah alat untuk tujuan selanjutnya
Kalau disimpulakan dapatlah alat-alat itu dibagi atas:
1.      Alat sebagai perlengkapan
2.      Alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan.
3.      Alat sebagai tujuan.
Dalam memikirkan alat-alat apa yang akan dipakai dalam pendidikan, fungsi setiap alat sebaiknya diperhitungkan. Pendidikan itu adalah suatu  proses yang berjalan dari masa kemasa. Tujuan pendidikan Islam, adalah tetap tidak berubah-ubah. Tetapi pendidikan itu bukan sekali jadi memerlukan waktu untuk mencapai tujuannya. Pendidikan sebagai  usaha menghadapi persoalan-persoalan antara lain:
a.       Soal kematangan anak-anak untuk menerima pendidikan itu
b.      Soal ruang dan waktu
Untuk inilah perlu ada penelaahan alat-alat sebaik-baiknya, penyesuaian dengan hal-hal tersebut.
Pembagian Kedua
Sesuai dengan taraf-taraf perkembangan anak dan taraf sukarnya “diterima”  suatu alat pendidikan oleh si terdidik, maka alat-alat dapat pula dibagi atas:
1.      Alat yang member perlengkapan berupa kecakapan berbuat dan pengetahuan hafalan. Alat-alat ini dapat disebut alat-alat untuk pembiasaan.
2.      Alat-alat untuk member pengertian: membentuk sikap, minat dan cara-cara berpikir.
3.      Alat-alat yang membawa kearah keheningan batin, kepercayaan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Untuk membatasi mana alat-alat yang termasuk jinis pertama, mana kedua dan ketiga adalalah sukar sebab keseluruhannya alat-alat pendidikan islam melingkupi ketiga-tiganya dan semuanya diarahkan kepada yang ketiga. Kalau suatu alat tertentu dimasukkan kedalam salah satu jenis, misalnya alat itu lebih termasuk jenis pembiasaan, alkat itu lebih termasuk jenis kedua (pembentukan pengetahuan), maka pembagian itu tidak mutlak, melainkan hanya sebagai cara penyesuaian dengan tarap perkembangan si anak didik dengan alat yang dipakai. Misalnya, Ahalat: pada anak-anak telah diberikan sebagai alat jenis pertama, agar mereka menguasai cara-cara gerakan dalam bershalat dan menghafal doa-doa yang harus dibaca.
Dalam hal ini jelaslah betapa perlunya pendidik memperhatikan taraf-taraf pekembangan si terdidik untuk menyesuaikan dengan alat-alat dan maksud-maksud usahanya.
Pembagian Ketiga
Alat-alat pendidikan dapat pula terbagi atas:
1.      Alat-alat langsung: yaitu alat-alat yang bersifat menganjurkan sejalan dengan maksud usaha.
2.      Alat-alat tidak langsung: yaitu yaitu alat-alat bersifat pencegahan dan pembasmian hal-hal yang bertentangan dengan maksud usaha.
Alat-alat jenis pertama dapat pula disebut alat-alat positif, sedangkan alatt-alat jenis kedua disebut negatif.
Yang termasuk jenis pertama ialah segala anjuran-anjuran, perintah-perintah, keharusan-keharusan menurut gradasinya dan segala akibat-akibatnya. Jenis kedua meliputi segala larangan, peringatan-peringatan dan sejennisnya dengan segala akibat-akibatnya.
Salah satu sumber dimana kedua jenis alat ini tercantum dengan jelas, ialah kitab-kitab Fiqih yang memuat syarat-syarat Islam: yaitu peraturan-peraturan Allah yang harus dilaksanakan untuk kebahagian didunia dan akhirat. Sumber-sumber Fiqih ialah: Al-Qur’an, hadits, Ijma’ dan qias.
Pada garis besarnya, akibat-akibat dapat dibagi atas dua bagian besar denga gradasi masing-masing.
1.      Pahala, bagi orang-orang yang mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan.
2.      Dosa, bagi yang mengerjakan larangan dan melanggar perintah.
Gradasi peralihan dari perintah kearah larangan dan melanggar perintah.
1.      Hal-hal yang termasuk Fardu.
2.      Hal-hal yang termasuk sunnat
3.      Hal-hal yang termasuk mubah
4.      Hal-hal yang termasuk makruh
5.      Hal-hal yang termasuk haram.
Masing-masing bagian memiliki pula gradasi: misalnya fardu, ada fardu ‘ain dan ada fardu kifayah: sunnat ada sunnat muakkadah dan sunnat nafilah.
Pembagian ke empat.
Si terdidik dan pendidik sebagai alat pendidikan yang bertanggung jawab.
Dalam bab yang terdahulu telah diuraikan peranna si terdidik dalam proses pendidikan, dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan Islam dalam dirinya. Ia juga termasuk alat pendidikan. Ia mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk merealisasikan atau tidak merealisasikan usaha-usaha pendidikan, untuk membantu atau tidak membantu usaha-usaha pendidikan. Untuk mempercepat atau memperlambat tercapainya tujuan pendidikan.
Telah umum kita mengetahui bahwa dalam bidang kesanggupan jasmaniah, seorang tidaklah sama dengan lainnya. Demikian pula halnya dalam bidang rohaniah (kejiwaan). Ada orang yang lebih cepat mengerti dari yang lain, ada yang lebih rajin, dan ada yang lebih perasa dan sebagainya.
Perbedaan ini jangan hendaknya kita mengabaikannya. Ini adalah kenyataan yang harus kita perhitungkan dalam penentuan alat-alat yang akan dipergunakan.
Ahli Filsafat Ibn Rasyd pernah berkata:
barang siapa benar-benar mempelajari ilmu tasyrih (ilmu tubuh manusia)niscaya akan bertambah-tambah imannya kepada Allah”
Perlu selalu di ingat bahwa disamping perbedaan-perbedaan mereka, golongan dengan golongan, antara seorang dengan lainnya, terdapatlah persamaan hak. Mereka mempunyai hak yang sama untuk mencapai tujuan pendidikan untuk memiliki ke pribadian Muslim, untuk menjadi hamba Allah yang berbahagia untuk dunia dan Akhirat.
Berdasarkan hak inilah maka penyesuaian alat-alat pendidikan dengan keadaan mereka adalah sangat penting, agar tiap orang, tiap golongan mmperoleh hasil-hasil pendidikan itu sebaik-baiknya. Peranan pendidik dalam hal ini sungguh penting. Ia adalah alat pendidikan yang sangat perpengaruh dan karenanya dipundaknya diletakkan pertanggung jawab yang berat tetapi mulia.
B.     Badan Pendidikan
Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-alat pendidikan. Yang kita makudkan dengan badan pendidikan, ialah organisasi atau kelompok manusia, yang karena satu dan lain memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu bertugas member pendidikan kepada si terdidik, sesuai dengan dengan badan tersebut.
Badan-badan pendidikan itu harus dapat menciptakan suatu suasana, dimana pendidikan dapat berlangsung, menurut tugas yang dipikulkan kepadanya. Misalnya sekolah-sekolah agama, sekolah itu jangan merupakan situasi yang lain dari sekolah agama, jangan seperti pasar umpanya, jangan pula seperti yang lain-lainnya agar proses pendidikan dapat berlangsung dnegan wajar.
Menurut fungsi dan keadaan tugas dari badan-badan itu dapatlah badan-badan pendidikan dibagi atas tiga golongan yang besar:
a.       Keluarga
b.      Sekola-sekolah
c.       Badan-badan pendidikan kemsayarakatan, diluar keluarga dan sekolah, misalnya kepanduan dan sebagainya.
Keetiga badan ini mempunyai kekhususannya masing-masing dalam fungsi dan tugas, tetapi antara ketiganya terdapat juga overlapping atau saling mencangkup. Ketiga-tiganya saling membantu dalam mendidik manusia sebagai satu keseluruhan.
Kekhususan fungsi/tugas masing-masing badan, erat pula hubungannya dengan perkembangan usia dan kematangan si terdidik. Faktor kematangan ini menentukan kebutuhan-kebutuhan si terdidik dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan itu tersedialah bahan-bahan pendidikan yang akan menimbang dan membantunya.
Pada waktu anak masih dalam keadaan bayi sampi anak tiba saatnya matang untuk beersekolah, yaitu antara usiakurang lebih 0.0 tahun – kurang lebih 6.0 tahun (catatan: usia 0.0 – 2.0 itu lazim dinamai masa vital atau masa hayati dan usia 2.0 – 6.0 tahun disebut masa estetis atau masa kanak-kanak) mengingat kebbutuhannya waktu itu, maka pendidikan didalam keluarga yang lain cocok.
Kemudian tiba saatnya anak matang untuk bersekolah, dimasukkanlah mula-mula ke teman kanak-kanak, terus kesekolah dasar dan selanjutnya sesuai dengan kesempatan dan kesanggupan.
Pada masa sekolah ini, pendidikan berlangsung dirumah (keluarga) dan juga disekolah. Kebutuhan anak pada masa ini, tidak dapat lagi sepenuhnya dipenuhi oleh keluarga, bahwa keluarga tidak selalu sanggup untuk memenuhi mengingat pula kebutuhan itu. Anak-anak sudah butuh belajar menulis, membaca dan berhitung, sudah butuh ilmu-ilmu pengetahuan dan sebagainya. Tidak semua keluarga dapat memenuhi kebutuhan itu sendiri bagaimana harusnya. Oleh karena itu badan pendidikan kedualah (sekolah)  yang mendapat tugas melaksanakan pendidikan serupa itu.
Selanjutnya, si terdidik membutuhkan suasana pendidikan lain pula di luar keluarga dan sekolah. Meereka memasuki perkumpulan-perkumpulan kepanduan, perkumpulan-perkumpulan pemuda dan sebagainya. Maka pemimpin-pemimpin badan kemasyarakatanlah yang memegang peranan membimbing mereka dalam hal ini. Demikian ketiga badan pendidikan ini melaksanakan tugas-tugasnya secara khusus dan saling membantu.
a.       Pendidikan dalam keluarga
Pendidikan ini, tepat jika disebut ppendidikan yang pertama di dapat oleh si terdidik, dan dapat pula disebut pendidikan yang terutama. Para ahli sependapat betapa pentingnya pendidikan dalam keluarga, bahwa apa-apa yang terjadi dalam pendidikan  itu membawa pengaruh terhadap kehidpan si terdidik, demikian pula terhadap pendidikan-pendidikan yang akan dialaminya di sekolah dan di masyarakat.
Pada sat-sat pertama, yaitu  padda masa hayati pada usia kurang lebih 0.0 – kurang lebih 2.04), orang tualah yang memegang peranan utama dan memikul tanggung jawab mengenai pendidikan si anak. Pada masa ini pemeliharaan dan pembiasaanlah yang terutama memegang peranan. Kasih sayang orang tua yang wajar, akibat dari hubungan darah, sangat banyak pengaruhnya dalam proses pendidikan . bahwa ada oreang tua juga yang tidak dapat memperlihatkan rasa kasih sayang yang wajar, itu adalah kekecuslian.
Pada mumumnya hubungan kekeluargaan, menimbulkan secara otomatis rasa kasih sayang itu. Rasa kasih sayang itu adalah sangat penting, terutama mengingat keadaan si anak.
Pada masa ini seluruh masa kebutuhannya terseerah mentah-mentah kepada pendidikannya. Kita mengatakan perlunya rassa kassih sayang yang wajar. Oleh karena banyak sekali terjadi bahwa rasa kassih sayang orang tua demikian rupa sehingga keterlaluan dinyatakan, dan mengakibatkan kesulitan-kesulitan kemudian. Kasih sayng seedemikian, dapat menimbbulkan sifat manja keterlaluan, dapat pula menghambat pula perkembangan kepribadian si anak.
Jadi pada satu pihak kasih sayang itu memang perlu, tetapi pada pihak yang lain perlu pula ada batas-batasnya. Hal ini dapat terjadi  jika orang tua beretindak bukan hanya mengikuti perasaan, tetapi juga dengan pikiran. Ingatlah selalu betapa besar pengaruh pendidikan yang pertama ini, seperti sabda Nabi Muhammad saw:
setiap anak dilahirkan dengan fitrah. Maka ibu bapaknyalah yang menasranikannya atau menyahudikan atau memajusikannya”

b.      Sekolah
Sekolah adalah badan pendidikan yang penting pula sesudah keluarga. Ketika anak meningkat usia kurang lebih 6 tahun, perkembangan intelek, daya berpikir mereka adalah sedemikian sehingga mereka telah membutuhkan beberapa dasar ilmu pengetahuan. Masa antara 6 a 7 tahun sampai 12 a 13 tahun, biasanya juga disebut masa intelek. Anak-anak telah cukup matang untuk belajar dasar-dasar berhitung, ilmu-ilmu pengetahuan alamiah dan kemasyarakatan, penambahan perbendaharaan dan ilmu bahasa, ilmu pengetahuan keagamaan dan sebagainya. Di rumah tangga (keluarga), tidak selamanya tersedia kesempatan dan kesanggupan pendidik untuk member pelajaran-pelajaran itu. Dalam hal ini, sekolahlah yang diatur dan di siapkan sedemikian untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
Tugas guru dan pemimpin-pemimpin sekolah di samping memberikan budi pekerti dan keagamaan, memberi pula dasar-dasar ilmu pengetahuan. Pendidikan budi pekerti dan keagamaan yang diselenggarakan disekolah-sekolah, haruslah merupakan lanjutan, setidak-tidaknya jangan bertentangan dengan apa yang diberikan  dalam keluarga.
Mengetahui ilmu-ilmu umum yang diberikan oleh sekolah, keluarga tidak usah khawatir apa-apa. Hal itu hanya melatih anak berpikir, member mereka perlengkapan-perlengkapan ilmu pengetahuan sebagai bahan untuk berpikir dan bekerja. Bagi keluarga yng kuarang sanggup memebrika ilmu pengetahuan itu, dapatlah menyerahkan tugas ini kepada sekolah dengan penuh kepercayaan.
Tetapi bagi keluarga-keluarga yang dapat membantu, akan lebih baik lagi jika dapat sekedar memberikan tambahan-tambahan dalam beeberapa hal yang mungkin akan ditanyakan oleh anak-anaknya karena belum mengerti betul di  sekolah. Bagi kedua-duanya dapat atau tidak dapat member pelajaran mengenai ilmu-Ilmu yang di ajarkan disekolah, setiap keluarga harus memebantu sekoloah dalam member kesempatan serta mengawasi kegiatan belajar anak-anaknya dirumah. Saling mengerti antara rumah dan sekolah dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan yang dapat dimiliki oleh anak, melainkan dalam pembentukan sikap, minat dan cara belajar yang teratur. Hal mana sangat perlu bagi pembentukan kepribadian si anak. Selaindari itu, setiap kerjasama antara rumah dan sekolah dalam bidang apapun, akan membantu meniadakan konflik-konflik batin yang timbul karena perbedaan pandangan antara kedua badan pendidikan itu.
Sekolah harus banyak membantu keluarga dalam usaha pembentukan kepribadian membentuk budi pekerti dan kalau mungkin keagamaan. Kalau dipeerhatikan betapa lama sekolah-sekolah memegang peranan dalam pembentukan kepribadaian seseorang mulai darri taman kanak-kanak sampai sekolah tinggi (bagi mereka yang berkesempatan), maka dapatlah disimpulkan bahwa sebagian besar pembentukan kecerdasan (pengertian), sikap dan minat sebagai bagian dari pembentukan kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah. Hal ini menunjukkan batapa pentingnya sekolah itu dan betapa besar pengaruhnya. Mungkin berumur anak-anak (si terdidik) makin sedikitlah waktunya untuk tinnggal bersamasam keluarga dirumah, dan makinn sedikit pula kesempatan, bagi pendidik-pendidik dalam keluarga. Sebagian besar waktu itu habis di sekolah.

c.       Pendidikan dalam Masyarakat
Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa jam seharian lepas dari asuhan kelurga dan berada diluar dari pendidikan sekolah.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian (pengetahuan) sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Kalau kita berpegang teguh pada batas kita semula, bahwa pendidikan ialah bimbingan secara sadar , maka sebagian dari pengalaman yang diperoleh dalam masyarakat tidak dapat dimasukkan dalam kategori pendidikan. Ini hanya dapat dimasukkan kedalam kategori pergaulan. Tetapi sebagian besar dari pengalaman dimasyarakat itu  dapat merupakan pendidikan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu berupa bimbingan secara sadar. Pada taraf-taraf sebelum kedewasaan tercapai,bimbingan secara sadar itu dilakukan oleh orang-orang lain, yaitu pemimpin-pemimpin kemasyarakatan, seedangkan pada masa dewasa, bimbingan lebih bersifat pendidikan sendiri, membentuk kebiasaan sendiri, mencari sumber-sumber pengetahuan sendiri dan mempertebal keyakinan kita sendiri akan nnilai-nilai kemasyrakatan, kesulitan dan keagamaan.



BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
1.      Dalam dunia pendidikan terdapat dua istilah yaitu:
a.       Pendidikan dalam arti sempit: bimbingan yang diberikan kepada anak sampai ia dewasa.
b.      Pendidikan dalam arti luas: bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya.
2.      Pendidik ialah manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik.
3.      Dasar pendidikan Islam ialah: Firman Allah SWT (Al-Qur’an) dan Al Hadits
4.      Alat pendidikan Islam.
Yang pertama.
a.       Sebagai perlengkapan
b.      Sebagai pemebantu untuk mempermudah mencapai tujuan
c.       Ssebagai tujuan.

Yang kedua
a.       Memberi kecakapan.
b.      Memberi pengertian.
c.       Membawa kearah keheningan hati.

Yang ketiga
a.       Alat-alat langsung.
b.      Alat-alat tidak langsung

Yang ke empat
a.       Peserta didik dan pendidik.



Daftar Pustaka

Marimba, Ahmad.1962  pengantar filsafat pendiddikan islam, bandung: pt.alma’arif